BUKAN KISAH YANG TERLALU PENTING
Kamu tentu tahu seberapa dalam perasaanku padanya dan
betapa aku takut perbedaan aku dan dia menjadi jurang. Aku tak pernah
memikirkan perpisahan selama ini, tapi ternyata hal yang begitu tak ingin
kupikirkan pada akhirnya terpaksa masuk otakku. Aku dan dia tak lagi seperti
dulu. Sapaannya tak lagi sehangat dulu, senyumnya tak lagi semanis dulu, dan
tawanya tak lagi serenyah dulu. Aku tak tahu perubahan macam apa yang membuat
sosok pria itu begitu berbeda.
Dari semua sikapku, tak mungkin kautak tahu aku punya
perasaan lebih padanya. Dari semua ceritaku, tak mungkin kautak paham bahwa aku
mulai jatuh cinta padanya. Aku terlalu banyak diam dan memendam, mungkin di
situlah kesalahanku. Terlalu egois mengatakan dan terlalu takut mengungkapkan.
Aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa dan tak bisa mengkambinghitamkan siapa
pun. Bukankah dalam cinta tak pernah ada yang salah?
kenyataan yang
mencekam seperti itu, aku jadi malas tersenyum dan berbicara banyak tentang
perasaanku pada orang lain. Aku malah semakin belajar untuk menutup rapat-rapat
mulutku pada setiap perasaan yang minta diledakkan lewat curhat-curhat
kecil.
Berbahagialah kamu bersama pria itu, pria yang selalu
kubawa dalam cerita-ceritaku. Pria yang bagiku terlalu tinggi untuk kugapai dan
terlalu misterius untuk kumengerti jalan pikirannya. Setiap melihatmu dengan
pria itu, aku berusaha meyakinkan diriku; bahwa aku juga harus ikut berbahagia
melihatmu dengannya. Sejatinya, cinta adalah ikhlas melihat orang yang kucintai
bahagia meskipun ia tak pernah menjadikanku pilhan satu-satunya.
Tenanglah, aku sudah mulai melupakannya. Sudah ada
seorang pria baru, yang tak begitu kucintai, tapi kehadirannya bisa sedikit
mengundang senyum di bibirku. Aku tak tahu, apakah perasaanku pada pria baru
itu adalah cinta. Aku tak berusaha memahami, apakah hubungan yang kami jalani
selama ini adalah ketertarikan sesaat atau hanya sarana untuk menyembuhkan luka
hatiku? Kami tertawa bersama, menghabiskan waktu berdua, tapi segalanya terasa
biasa saja. Tak ada ledakkan yang begitu menyenangkan ketika aku bertatap matadengannya.
Pria yang selalu kuceritakan padamu, yang kini telah menjadi kekasihmu, selalu berbentuk gumpalan bayang-bayang di otakku. Semakin aku berusaha melawan, semakin aku tak bisa menerima bahwa segalanya tak lagi sama. Aku tak ingin ingatanku dan perasaanku yang dulu begitu besar pada masa lalu menjadi penyiksa untuk pria baru yang ingin membahagiakanku kelak. Aku hanya berusaha mengerti yang terjadi dan berusaha pasrah dengan kenyataan yang memang harus kuketahui. Aku tak ingin dibohongi oleh kesemuan yang membahagiakan, lebih baik kenyataan yang memuakan tapi penuh kejelasan.
Pria yang selalu kuceritakan padamu, yang kini telah menjadi kekasihmu, selalu berbentuk gumpalan bayang-bayang di otakku. Semakin aku berusaha melawan, semakin aku tak bisa menerima bahwa segalanya tak lagi sama. Aku tak ingin ingatanku dan perasaanku yang dulu begitu besar pada masa lalu menjadi penyiksa untuk pria baru yang ingin membahagiakanku kelak. Aku hanya berusaha mengerti yang terjadi dan berusaha pasrah dengan kenyataan yang memang harus kuketahui. Aku tak ingin dibohongi oleh kesemuan yang membahagiakan, lebih baik kenyataan yang memuakan tapi penuh kejelasan.
Aku mohon,
jagalah pria itu dengan susah payah, dengan sekuat tenagamu. Aku ingin
kebahagiaannya terjamin olehmu. Aku ingin dia bahagia bersamamu. Di sini, aku
tak bisa berbuat banyak, selain membantu dalam doa.
Aku tak
sempat membuat dia tersenyum. Tolong, inilah permintaanku yang terakhir,
setelah ini aku tak akan mengganggumu; bahagiakan dia, buatlah dia terus
tersanyum, dan biarkan saja dia tak tahu ada seseorang yang terluka diam-diam
di sini.
Sumber : Dwitasari
http://dwitasarii.blogspot.com/2013/03/bukan-kisah-yang-terlalu-penting.html